“ Hari gini masih dibius total ??? Emangnya nggak ada pilihan lain, Dok ??“
Saya hanya bisa tersenyum simpul mendengar pertanyaan kritis sekaligus cerdas tersebut. Yang terlintas dalam benak saya seketika itu adalah bahwa saya tidak boleh sembarangan berbicara untuk menjawab pertanyaan itu. Karena di era globalisasi segala bidang seperti sekarang ini, pengetahuan pasien tentang prosedur dan tindakan medis tidak dapat diremehkan. Seandainya pun saya berlagak memberikan keterangan menggunakan bahasa muluk-muluk dengan berbagai jargon medis yang susah dimengerti awam, dalam waktu singkat pun akan segera tercerna juga dengan bantuan Mr. Google yang super cerdas. Ya, saya sangat yakin hal itu, sebab peran kemudahan mendapat akses informasi melalui internet ataupun media lain sudah menjadi sesederhana membeli kacang goreng di warung depan rumah.
Dialog diatas terjadi saat saya melakukan kunjungan rutin pra operasi dan pembiusan di sebuah rumah sakit. Pada kesempatan yang cukup sempit itu, biasanya saya melakukan ‘ritual’ yang wajib dilakukan oleh seorang dokter anestesi yaitu antara lain berkenalan dengan pasien dan melihat secara langsung kondisi pasien yang akan dilakukan tindakan pembiusan untuk operasi keesokan hari. Dengan bertatap muka seperti itu, saya akan dapat mengumpulkan berbagai informasi yang penting tentang pasien; seperti misalnya letak kelainan yang akan dibedah, bentuk tubuh dan anatomi pasien yang terkait dengan proses pembiusan dan posisi saat dioperasi, serta kemungkinan adanya penyakit lain diluar kelainan utama. Selain itu, biasanya saya juga meluangkan sedikit waktu memberikan beberapa informasi penting tentang persiapan pembiusan pada pasien dan keluarganya; semisal kapan harus mulai berpuasa, resiko dan efek samping pembiusan yang sangat mungkin dihadapi, serta tidak kalah pentingnya selalu mengajak dan mengingatkan untuk berdoa demi kelancaran semua proses.
Dari seluruh topik yang rutin saya diskusikan bersama pasien dan keluarga itu, terdapat satu topik yang tidak begitu saya sukai. Pembahasan mengenai resiko dan efek samping pembiusan, menurut pengalaman saya, merupakan topik yang seumpama makan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak pun mati. Membicarakan hal itu, menurut beberapa pasien, saya seolah-olah menakut-nakuti sehingga membuat mereka berpikir ulang untuk maju ke medan laga. Padahal kalau saya tidak memberikan penjelasan sejak dini, pada akhirnya mereka akan menyalahkan saya karena tidak pernah berbicara dengan mereka tentangnya. Namun demikian saya masih bersyukur, karena juga tidak kalah banyaknya pasien lain yang justru menaruh kepercayaan dan berterimakasih bahwa mereka telah diberikan informasi penting yang sebelumnya sama sekali tidak pernah dibayangkan.
Dalam percakapan tentang topik yang ‘semenyeramkan itu’, tentu saja, saya tidak semata-mata menyodorkan daftar bahaya dan kengerian akibat proses narkose. Justru dalam kenyataannya, saya menyampaikan hal apa saja yang mungkin terjadi, apa peran pasien untuk mencegahnya, serta bagaimana tindakan yang akan saya lakukan sebagai orang yang diberi amanah menjaga keselamatan pasien selama operasi dilakukan.
Contoh mudah yang seringkali diabaikan pasien adalah mengenai pentingnya berpuasa sebelum operasi dan pembiusan dilakukan. Meskipun sebagian besar pasien memilih pasrah dan tunduk tanpa syarat pada peraturan kewajiban puasa mulai tengah malam sebelum operasi esok hari, ternyata juga tidak sedikit yang mencoba berargumentasi dan bahkan mengambil kesempatan menghilangkan dahaga secara sembunyi-sembunyi diluar pengetahuan perawat dan dokter. Padahal kalau mereka tahu bahaya yang bisa terjadi akibat tindakan tersebut, penyesalan seumur hidup pasti mereka alami.
Tindakan pembiusan, terutama pembiusan total, menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dan beberapa refleks perlindungan tubuh yang penting. Seperti halnya refleks bulu mata yang hilang sesaat setelah obat anestesi disuntikkan, refleks batuk pun akan segera hilang. Di sisi lain, efek obat anestesi dan meningkatnya tekanan rongga perut saat diberikan bantuan pernafasan, menjadikan peluang muntah sangat besar. Dalam kondisi seperti itu, maka apabila terjadi muntahan, cairan ataupun sisa makanan akan mengalir bebas dari lambung ke daerah pharing dan bukan mustahil akan memasuki rongga tenggorok menuju ke paru-paru. Sehingga yang akan segera terjadi kemudian adalah iritasi dan peradangan jaringan paru-paru yang bisa berakibat fatal. Kejadian ini dalam dunia medis disebut sebagai aspirasi dan pneumonia.
Hanya karena kesalahan sesederhana meminumkan susu pada anaknya dengan alasan kasihan sebab sang anak menangis kehausan, seorang ibu menyesal dan menangis tak berkesudahan ketika si anak harus dirawat di ICU dengan bantuan ventilator dan mengalami kondisi koma.
Lalu, adakah tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dokter anestesi agar hal itu tidak terjadi? Tentunya pencegahan itu dilakukan dengan cara mewajibkan pasien berpuasa. Namun dalam situasi kebutuhan operasi emergensi, dokter anestesi akan melakukan tindakan-tindakan untuk mengeluarkan sisa makanan dan cairan dalam lambung secara sengaja dengan memasang pipa lambung dan menyuntikkan obat-obat anti muntah.Namun demikian, tentu saja resiko untuk terjadinya muntah dan aspirasi menjadi sekian kali lipat lebih besar.
Berkat informasi dari internet dan media lain, calon-calon pasien operasi dan pembiusan mengetahui bahwa pembiusan total ‘lebih beresiko’ dibandingkan dengan ‘bius separuh badan’ atau ‘bius lokal’. Sebagai catatan, bius separuh badan dalam terminologi medis adalah tindakan regional anestesi berupa Sub Arachnoid Blockade, Epidural Blockade, Sacral Blockade, Caudal Blockade ataupun teknik blok regional lain sesuai wilayah tubuh yang dikehendaki. Sebagai akibat anestesi itu memang yang terpengaruh dan dirasakan baal oleh pasien hanyalah bagian tubuh tertentu, sementara pasien masih tetap sadar dan bisa berkomunikasi dengan tim medis. Sedangkan bius lokal atau istilah kerennya LA (Local Anaesthesia) tidaklah menjadi ranah spesialisasi dokter anestesi, karena siapapun berhak melakukannya. Contoh mudah teknik LA ini adalah pembiusan yang dilakukan untuk operasi cabut kuku.
Meskipun awalnya seolah-olah bius separuh badan itu dianggap jauh lebih aman, namun biasanya setelah meluangkan waktu ngobrol tentang teknik tersebut, pasien tersentak dan akhirnya menyerahkan kepada saya tentang pilihan teknik anestesi yang terbaik dan teraman bagi mereka berdasarkan pertimbangan keahlian saya.
Pada prinsipnya, memang tidak ada teknik pembiusan yang aman untuk semua orang. Harus dilakukan penilaian, penelaahan dan pengambilan keputusan yang hati-hati oleh dokter anestesi dan timnya tentang teknik pembiusan yang dianggap paling aman dan tepat untuk seorang pasien. Beberapa faktor yang harus dijadikan pertimbangan antara lain : jenis kelainan yang akan dilakukan pembedahan, lokasi pembedahan dan teknik pembedahan, serta penyakit lain yang menyertai kelainan utama. Pada prinsipnya dokter anestesi memiliki kewajiban untuk ‘menyenangkan semua pihak’, dalam artian operator atau dokter bedah dapat melakukan tugasnya dengan baik, sementara pasien pun tidak mengalami keluhan saat dilakukan pembedahan.
Terdapat tiga target utama dari setiap tindakan pembiusan yang harus dipenuhi, yaitu Sedasi, Analgesi, dan Relaksasi. Sesuai dengan motto tersebut, maka saat pembedahan dilakukan pasien sama sekali tidak boleh merasakan nyeri (Analgesi), tidak merasa cemas dan takut (Sedasi) sehingga sedapat mungkin atau jika perlu boleh ditidurkan, dan bagian tubuh yang dioperasi harus lemas agar dokter bedah tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk membedah tubuh pasien yang kaku (Relaksasi).
Untuk memperoleh hasil pembiusan yang memuaskan sesuai tiga target utama itu namun tanpa menambah resiko anestesi, tentunya, dibutuhkan wawasan yang luas dan pertimbangan yang teliti, keahlian yang mumpuni, serta pengambilan keputusan yang tegas dari dokter anestesi beserta timnya. Meskipun demikian, tetap tidak menutup kemungkinan teknik anestesi dilakukan sesuai permintaan pasien. Sebagai contoh pada tindakan operasi Sectio Caesaria, yang biasanya cukup hanya menggunakan teknik Sub Arachnoid Blockade atau Spinal Anesthesia, dapat juga dikombinasi dengan tindakan pembiusan umum apabila pasien memang menghendaki karena takut mendengar suara-suara saat operasi berlangsung. Demikian pula apabila semula dokter anestesi merencanakan pembiusan total untuk operasi lengan, rencana tindakan itu bisa diubah menjadi Plexus Brachialis Regional Blockade apabila memang pasien menghendaki tetap sadar pada saat dibedah.
Saat ini ilmu anestesi dan jenis obat-obatan yang digunakan sudah demikian berkembang pesat, sehingga resiko pembiusan bisa dikatakan jauh berkurang. Meskipun begitu karena pembiusan sendiri pada dasarnya memang adalah tindakan yang beresiko tinggi, maka dokter anestesi tetap memiliki kewajiban menjaga standard mutu pelayanannya dengan sangat hati-hati. Kelengahan yang sekecil apapun tidak dapat ditoleransi karena dapat berakibat kecacatan ataupun fatal. Dan berita buruknya adalah bahwa tidak hanya pembiusan total yang memiliki resiko ini, karena tindakan Regional Anesthesia pun memiliki peluang bahaya yang tidak jauh lebih kecil. Shock akibat tekanan darah yang turun, kelumpuhan, dan bahkan henti jantung bisa menjadi resiko tindakan ‘pembiusan separuh’. Sebagian dari resiko ini memang bisa terjadi karena kelalaian dokter anestesi, namun sebagian lagi seringkali muncul karena kondisi pasien yang tidak optimal saat dilakukan tindakan pembiusan dengan teknik tersebut.
Pada akhirnya yang ingin saya sampaikan, sekaligus menjawab pertanyaan cerdas pasien saya diatas, adalah bahwa tidak akan pernah ada obat anestesi atau teknik pembiusan yang benar-benar aman. Yang ada hanyalah dokter anestesi yang bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan pasien tentang teknik pembiusan, resiko, dan upaya-upaya menjadikan proses pembiusan sebuah pengalaman yang nyaman dan aman.
hendro_drn@ymail.com
Sy berencana akan operasi sinus,yg kt dokter harus bius total..tp sy khawatir,krn sy sering merasa pusing dan sesak nafas..atau bahkan pada malam hari sering merasakan telapak tangan dan muka sy serta mata dan bibir memucat..bahayakah bila sy dibius total? Tekana darah sy juga rendah...
ReplyDeleteSy berencana akan operasi sinus,yg kt dokter harus bius total..tp sy khawatir,krn sy sering merasa pusing dan sesak nafas..atau bahkan pada malam hari sering merasakan telapak tangan dan muka sy serta mata dan bibir memucat..bahayakah bila sy dibius total? Tekana darah sy juga rendah...
ReplyDelete